Tegal- Bertolak dari latar belakang masalah tentang perbedaan jumlah rokaat pada sholat tarawih Ketua MUI Kota Tegal, KH. Abu Chaer An Nur, BA mengemukakan dalam sebuah santapan rohani pada kuliah dhuha yang di gelar Kementerian Agama, Rabu (15/06) di Masjid Agung Kota Tegal.
Sebagai bahan pembekalan bagi para pelajar mengenai pelaksanaan sholat tarawih supaya tidak mengambang pada permasalahan di sekitar jumlah rokaat sholat tarawih dan jumlah rokaat dalam satu salam serta dalilnya masing-masing, maka dalam. literatur fikih terdapat sejumlah pendapat para fuqahaÙ“ tentang jumlah rakaat salat tarawih. Paling tidak ada dua pendapat yang mayoritas umat muslim Indonesia melakukanya, yaitu: 11 rakaat bersama witir dan 23 rakaat bersama witir.
Pendapat pertama, 11 rakaat. Pendapat ini banyak diamalkan orang di Indonesia, paling tidak pada tiga dekade terakhir ini. Dalam kitab MuwattaÙ“, Imam Malik meriwayatkan dari Muhammad ibn Yusuf dari al-Saib ibn Yazid, bahwa Umar ibn al-Khatab memerintahkan Ubay ibn Ka’ab dan Tamim al-Dar΄i agar mereka salat (tarawih) bersama orang banyak sebelas rakaat. keputusan yang diambil ‘Umar tersebut karena mengikuti salat Nabi. Lalu disebutkan hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ketika ditanya orang (Abu Salamah) tentang salat Nabi pada bulan Rhamadan.
Nabi tidak pernah melebihi, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya dari sebelas rokaat., hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah RA.
Sementara itu ketua MUI melanjutkan tentang Pendapat kedua, yaitu 23 rakaat, Pendapat yang mengatakan salat tarawih 20 rokaat dianut oleh Abu Hanifah, Malik dalam salah satu qaulnya, al-Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal dan Daud al-Zahiri, Pendapat ini antara lain berdasarkan riwayat berikut:
Dari Yazid ibn Ruman ia berkata: “ pada zaman ‘Umar ibn al-Khatab orang melakukan salat di bulan ramadhan dua puluh tiga rakaat”.
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa salat tarawih 23 rakaat bersama witir tersebut adalah perbuatan sahabat di zaman ‘Umar RA. Menurut al-San’ani tidak ada hadist yang marfu’ (langsung dari Nabi atau perbuatan Nabi) yang menjadi dasar pendapat ini (20 rakaat) kecuali riwayat ‘Abd ibn Humaid dan Al-Tabrani dari jalur Abu Syaibah Ibrahim ibn ‘Usman dari al-Hakam dari Muqsim dari ibn ‘Abbas yang berbunyi :
Bahwasanya Rasulullah Saw. Pernah salat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir. Akan tetapi menurut al-San’ani dalam sanad nya terdapat kelemahan, yaitu Abu Syaibah. Mengutip kitab Subul al-Rasyad ia mengatakan bahwa Abu Syaibah ini dilemahkan oleh Ahmad, ibn Ma’in, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Turmizi, al-Nasai dan lain-lain. (IM)